Kamis, 26 Agustus 2010

PERLAWANAN GERAKAN TANI


Kebangkitan dan Kehancuran Relatif Gerakan: 1990-2005

Kebangkitan sosial gerakan tani dari pertengahan 1980an hingga awal 2000, secara umum diikuti oleh kelemahan dari 2003 hingga pertengahan 2005. Kebangkitan itu didorong oleh kesadaran etnis-kelas yang sangat besar, khususnya di kalangan komunitas Indian yang disebabkan oleh pemberontakan besar-besaran. Misalnya, di Ekuador (CONAINE), perlawanan bersenjata di Meksiko (the EZLN The Zapatista Army of National Liberation) dan gerakan tani di Guerrero, Cocaleros di Cochabomba dan Alto Plano di Bolivia serta petani koka di Peru.

Di Brazil, pada awal 1985 dan berlanjut pada 2002, gerakan buruh pedesaan tak bertanah (the the Rural Landless Workers Movement), menduduki ribuan perkebunan besar dan memindahkan lebih dari 350 ribu keluarga pedesaan dalam pertanian keluarga dan koperasi.

Sukses gerakan tani memang tidak seragam. Di Guatemala, Peru, El Salvador dan Kolombia, gerakan tani menderita penindasan yang dilakukan - dalam beberapa kasus dimaksudkan untuk melemahkan aktivitas massa. Namun demikian, sukses besar gerakan tani ini berlanjut pada agenda pedesaan mereka seperti otonomi luas dan pemerintahan sendiri bagi komunitas Indian, reformasi agraria, perlindungan oleh negara, pembiayaan dan perlawanan terhadap ALCA, menarik perhatian dari seluruh sektor politik. Washington di bawah Bush (ayah dan anak) dan Clinton kemudian mempromosikan neoliberalisme melalui militerisasi Amerika Latin lewat Plan Colombia, Plan Andinoa, dan kebijakan "anti-teroris." Pemisahan dan pencemaran yang dilakukan oleh rejim neoliberal dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang disebut "kanan-tengah/center-left" dan koalisi elektoral. Hingga akhir 1990an, gerakan tani sukses karena mendasarkan dirinya pada politik kelas yang independen dan menggunakan tindakan langsung, serta melakukan taktik koalisi dengan kekuatan-kekuatan politik lainnya. Namun demikian, kebangkitan politisi-politisi elektoral "kanan-tengah" dan janji-janji mereka untuk "menentang" neoliberalisme telah menyebabkan kehancuran aliansi di gerakan tani.

Di Ekuador, Bolivia, Brazil dan tempat-tempat lainnya, gerakan tani yang bersekutu dengan presidennya (Guteirrez, Mesa dan Lula) dan partai, dengan cepat setelah pemilu, merangkul kebijakan neoliberal, strategi-strategi kebijakan agribisnis yang represif terhadap gerakan tani. Dampak dari pembalikkan ini adalah hancurnya aliansi elektoral dengan gerakan tani dan kemunduran dalam aktivitas dan organisasi. Di Ekuador, CONAINE menderita krisis kepercayaan di kalangan basis, pembeda-bedaan dalam organisasi dan melemahnya kemampuan untuk mobilisasi pada basis nasional. Di Bolivia, Evo Morales dan organisasi cocalero-nya mendukung kebijakan neoliberal dari Carlos Mesa, memperpanjang umur rejim reaksioner dengan memberinya kesempatan untuk melakukan rekonsilidasi dan melemahkan partai-partai tradisional. Di Brazil, dukungan MST terhadap rejim neoliberal Lula da Silva selama dua tahun lebih bersamaan waktunya dengan tersendatnya agenda reformasi agraria, terhambatnya pendudukan tanah dan semakin menguatnya agrobisnis yang membiayai buruh tak bertanah, keluarga petani, penghancuran hutan Amazon dan brutalitas ekspansi pertanian genetik oleh eksportir-eksportir pertanian. Pada 2005, pengalaman politik dalam politik elektoral telah menyebabkan (untuk sementara) tiga tahun kelemahan gerakan-gerakan tani-Indian yang paling kuat. Pelajarannya jelas: politik elektoral tidak efektif sebagai kendaraan bagi perubahan di pedesaan, dengan Venezuela sebagai pengecualian.

Aliansi Ekstra-Parlementer

Di bawah kondisi-kondisi dan konteks politik yang melahirkan aliansi petani dan penduduk perkotaan, apa hasil positifnya bagi kaum miskin pedesaan? Pengalaman sejarah lebih dari 25 tahun lalu menunjukkan bahwa aliansi yang sangat efektif dan tindakan-tindakan yang memerlukan "koalisi horisontal" terlibat dalam tindakan-tindakan ekstra parlementer. Sejumlah contoh sukses dan sebaliknya kegagalan sejumlah aliansi elektoral akan dipaparkan di bawah ini.

Di Ekuador, CONAINE dengan dukungan seribat buruh-serikat buruh utama (perminyakan, buruh lilstrik, bangunan dan guru) berhasil menjatuhkan dua rejim neoliberal (Bucaram dan Mahuad) dan untuk sementara, berhasil membatasi agenda neoliberal. Sebaliknya, ketika CONAINE berkoalisi dengan kekuatan elektoral yang dipimpin Lucio Gutierrez, mereka kehilangan dukungan sosial dan harus menghadapi arus balik program IMF. Hal yang sama terjadi di Bolivia, gerakan tani, cocaleros dan organisasi-organisasi Indian, yang berbasiskan pada koalisasi "horisontal" yang luas dengan pekerja tambang, kaum miskin perkotaan dan serikat buruh di La Paz dan Cochabamba, sukses menggulingkan rejim neoliberal represif Sanchez de Losada. Selanjutnya, gerakan tani mengalami beberapa kemunduran ketika salah satu pemimpin kuncinya, deputi parlemen Evo Morales, mendukung presiden Carlos Mesa yang menerapkan kebijakan neoliberal guna memenuhi ambisi elektoralnya (menjadi presiden pada pemilu 2007).

Ketika koalisi horisontal antara petani dan organisasi-organisasi perkotaan mendatangkan hasil-hasil yang positif, mereka tidak mudah untuk memperolehnya kembali. Di Brazil, MST kembali harus mencoba membangun aliansi perkotaan yang telah dilakukannya selama 20 tahun terakhir dengan hasil yang beragam. Selama dekade 1980an, ketika konfederasi serikat buruh (CUT=General Workers of Confederation) terbentuk dan didasarkan atas delegasi-delegasi pabrik dalam dewan umum, mereka secara tetap melakukan mobilisasi massa dengan MST. Selama 1990an dan sesudahnya, ketika CUT menjadi terbirokratisasi dan tergantung pada pakta sosial tripartit, mereka menjadi enggan atau tidak mau lagi melakukan mobilisasi bersama dengan MST. Ketika CUT's mengklaim memiliki 15 juta pengikut dan deklarasi "radikal"nya, padahal sebaliknya hanya beberapa ribu demonstran, sebagian besar adalah fungsionaris-fungsionaris penuh waktu, sebaliknya MST mampu memobilisasi puluhan ribu. Faktanya, pemimpin-pemipin MST berasal datang dari sektor-sektor progresif seperti Gereja (Pastoral Rural), menunjukkan praktek solidaritas yang lebih besar ketimbang CUT!

Venezuela adalah satu-satunya negara dimana gerakan tani memikili aliansi "vertikal" dan horisontal. Faktanya sebagian besar pertumbuhan organisasi gerakan tani adalah produk kebijakan pemerintahan Chavez dan kebijakan-kebijakan reformasi agrarianya. Ketika sebagian besar negara-negara Amerika Latin, berdiri di samping elite agrobisnis dan mendukung pakta perdagangan neoliberal, ALCA dengan dukungan imperialisme AS, di Venezuela, pemerintahannya bergerak ke arah promosi koperasi dan pertanian keluarga untuk membuat Venezuela mampu memenuhi kebutuhannya pangannya secara mandiri. Faktor kunci yang membedakan hubungan negara-petani ini adalah komposisi kelas negara dan para pemimpinnya: Chavez membangun blok popular untuk mempromosikan ideologinya yakni sebuah gabungan antara ekonomi yang berbasis pada pembiayaan kesejahteraan sosial melalui pendapatan minyak.

Dari beragam contoh konkret ini, saya mencatat sejumlah masalah dalam pembangunan "alinasi horisontal" dan penciptaan koalisi "buruh-tani:"

a. Serika buruh dan organisasi komunitas perkotaan berhasil dilemahkan oleh kebijakan neoliberal yang sukses menciptakan fragmentasi besar dalam "sektor informal;"

b. Di luar kelemahan atau "birokratisasi" (atau keduanya), serikat buruh, dalam banyak kasus, fokus mereka sangat "terbatas" pada isu-isu pekerjaan dan upah yang mendesak, ketimbang tantangan politik yang lebih luas yang berdampak pada perjuangan nasional (semacam reformasi agraria);

c. Beberapa pemimpin serikat buruh memiliki sikap yang rasis, ketika bekerja dengan pemimpin-pemimpin dan organisasi-organisasi Indian yang berdasarkan pada persamaan atau menerima kepemimpinan dari gerakan-gerakan petani-Indian yang sangat besar;

d. Banyak dari keluarga miskin perkotaan dikontrol oleh partai politik tradisional melalui mesin patronase elektoral, yang membatasi partisipasinya dalam tindakan bersama dengan gerakan tani. Namun, itu tidak menggambarkan praktek keseluruhan karena sering gambaran yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya, dalam kasus Bolivia, dimana komunitas perkotaan (organisasi bario) di El Alto membagi kepemimpinannya dengan gerakan tani.

Memang tidak semua masalah yang melilit aliansi "buruh-tani" disebabkan oleh kekuatan sosial perkotaan. Dalam beberapa kasus, seperti di Peru dan Kolumbia, tuntutan petani yang hanya terfokus pada isu tunggal pertumbuhan koka, sehingga membatasi ketertarikan sebagian produser petani. Dalam kasus lain, organisasi tani terbelah karena kesetiaannya terhadap strategi elektoral, dalam kasus ini adalah cocaleros di Chapare, Bolivia yang berakibat rusaknya aksi bersama dengan serikat buruh.

Dengan memahami kendala-kendala yang membatasi aliansi horisontal kota-desa, sebagian besar pemimpin-pemimpin tani menyadari bahwa koalisi nasional dengan sekutu perkotaannya adalah tujuan strategis yang mendesak guna mengalahkan neoliberalisme dan memformulasikan kebijakan yang pro-petani.

Strategi-strategi Perjuangan

Banyak kaum kiri menulis bahwa minimnya peran strategis petani dan dampak politik dari gerakan tani, disebabkan oleh sumbangan mereka yang kecil terhadap prosentase GNP. Begitu banyak laporan-laporan yang menulis soal "terpinggirnya" atau "tersingkirnya" petani dan buruh tak bertanah, meskipun fakta menunjukkan, sebagian besar pemain kunci dalam sektor agro-ekspor membutuhkan mata uang yang kuat untuk kepentingan impor dan pembayaran utang. Dan itu semua tak lepas dari sumbangsih kaum tani. Faktanya, gerakan tani dan produser tetap menyediakan sumber-sumber langsung bagi pertukaran internasional melalui koka dan komoditi ekspor lainnya, dan pentingnya suplai bagi konsumsi makanan lokal.

Lebih dari itu, bukti substansial menunjukkan, taktik tindakan langsung yang menyebabkan "terpinggir" dan "tersingkirnya" petani dan buruh tak bertanah, memberi dampak strategis pada realisasi keuntungan yang bisa diakumulasi oleh sebagian besar sektor kunci dari kelas berkuasa.

Teori Marxis berpendapat, sentralisasi proletariat industri dalam perjuangan revolusioner menjadi basis bagi posisi strategis mereka dalam sektor produksi dan dalam "organisasi sosial" dalam sistem pabrik. Petani, sebagaimana kita ketahui, "tersisih" dari pusat operasi kapital dan pemilikan pribadi. Sebagai individu, mereka bersifat atomistik. Sebagai subyek, perilaku petani bersifat "individualistik.

Data dari gerakan-gerakan kontemporer, menantang asumsi-asumsi ini. Di banyak negara, petani mendemonstrasikan kemampuannya yang luar biasa untuk bertindak secara kolektif dan bersolidaritas, ketimbang buruh perkotaan. Secara tetap, fokus dari aksi-aksi mereka semakin meluas ke tingkat nasional. Atau isu-isunya bukan semata tuntutan upah yang sempit sebagaimana yang dilakukan oleh serikat buruh industrial. Gerakan tani berkembang pesat sebagai keseluruhan melalui taktik tindakan langsung, termasuk pendudukan kantor kongres dan bangunan-bangunan di kotamadya (municipal), long-march besar-besaran, pemogokan dan boikot oleh produser, serta barikade dan blokade jalan. Dalam banyak kasus, gerakan tani merupakan kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan, dari tindakan langsung ke negosiasi dan politik elektoral. "Kohesi" petani datang dari struktur komunitas habitat pedesaan, pemeliharaan jaringan keluarga yang luas, dan ancaman bencana yang ditiupkan oleh kebijakan pasar bebas, serta kampanye-kampanye pengurangan dan pengusiran petani dari tempat tinggalnya.

Persamaan yang signifikan, bentuk-bentuk khusus dari kerugian struktural akibat aksi petani sangat berdampak dalam model kapitalis neoliberal. Lebih khusus lagi, jika aksi-aksi itu bertujuan mencegah sirkulasi ekspor komoditi oleh pengusaha-pengusaha pertanian-tambang dan manufaktur dan pencapaian keuntungan. Dengan kata lain, petani mungkin tidak memainkan peran yang esensial dalam produksi kapital tetapi, mereka memainkan peran esensial dalam sirkulasi komoditi dan dalam proses pertukaran. Peran strategis petani dalam mengguncang sirkulasi sama pentingnya dengan buruh pabrik yang mematikan alat-alat kerjanya dan menghentikan produksi: mereka tidak saja merusak keuntungan kaum kapitalis tetapi, juga memimpin perjuangan ketika terjadi disakumulasi dan krisis. Intervensi politik pada lokasi-lokasi strategis dalam sirkuit reproduksi kapitalis, menyebabkan gerakan tani secara dinamis memainkan peran strategis dalam proses transformasi sosial.

Kesimpulan

Monograf, pengakuan, riset-riset lapangan dan catatan visual menyediakan mosaik yang sangat kaya dan luar biasa mengenai aktivitas massa tani selama lebih dari dua dekade lalu, menyediakan bukti-bukti yang tak terbantah bahwa gerakan tani merupakan penggerak dan berperan dinamis di seluruh Amerika Latin dalam momentum yang berbeda-beda. Dalam hal ini, bisa disimpulkan bahwa terjadi tarikan keseimbangan antara kesuksesan dan keterbatasan perjuangan petani.

Pertama-tama, gerakan tani memainkan peran menentukan dalam memaksa penguasa-penguasa korup untuk mundur dari jabatannya, sebagai wujud tanggung jawab atas pemiskinan negara, memberikan sumberdaya alam dan sektor-sektor strategis kepada perusahaan multinasional, dan menjerumuskan negara ke dalam jebakan utang luar negeri.

Di Ekuador, Bolivia dan lebih luas lagi di Peru, gerakan tani berperan sebagai pemimpin dalam perubahan rejim. Gerakan tani menjadi pemimpin dalam perang melawan ALCA di Brazil, Amerika Tengah (khususnya Guatemala), Ekuador, Paraguay, Bolivia, Peru, Colombia dan Meksiko.

Gerakan tani juga memimpin dalam perjuangan menentang modifikasi genetik dan kimiawi berbasiskan pertanian yang dipromosikan oleh Monsanto. Sebaliknya, mereka mempromosikan lingkungan yang ramah bagi pengelolaan tanah. Gerakan tani juga memimpin dalam perjuangan melawan pengasapan (fumigation) tanaman pangan, juga sebaliknya, aktif membela petani koka sebagai sumber penting bagi pendapatan keluarga, dengan efek berganda pada ekonomi sebagai keseluruhan.

Pemimpin-pemimpin tani menuntut Washington, untuk memerangi perdagangan obat-obatan melalui elite-elite pengadilan yang berkoalisi dengan mereka yang memroses dan mengedarkan barang tersebut dan bank-bank AS, yang secara ilegal "mencuci" keuntungan dari perdagangan obat itu. Gerakan tani menjadi bagian dari koalisi nasional melawan legislasi (pengundangan) privatisasi, basis militer AS, dan pembayaran utang luar negeri yang ilegal.

Tindakan langsung oleh gerakan tani, mampu menunda atau memblokade program-program "ikat pinggang/austerity" yang dipromosikan oleh IMF. Hal yang sama pentingnya, gerakan tani menginisiatifi gerakan yang "meledakkan" aktivitas perkotaan yang lebih besar seperti, pemberontakan yang terjadi di Bolivia pada Oktober 2003, Zapatistas Januari 1994, pengambilalihan Kongres di Ekuador pada 2000, dan gerakan pendudukan tanah di Brazil selama milenium baru.

Yang jelas, tanpa petani yang menduduki lahan tak mungkin ada proses reformasi agraria di Venezuela hari ini (2005), karena perubahan dalam birokrasi sangat lambat dan tidak jelas. Dengan adanya fakta bahwa tidak adanya legislasi agraria yang progresif atau level eksekutif yang setuju pada proses itu di seluruh negara Amerika Latin pada 20 tahun terakhir, (kecuali Venezuela di bawah Chavez), tindakan langsung oleh gerakan tani memainkan peran yang sangat signifikan, tidak hanya sebagai kendaraan bagi petani untuk membela klaim mereka atas tanah, kredit pasar, dan perlindungan atas dumping.

Sukses positif gerakan tani ini bukan tanpa biaya: luka dan penindasan dengan kekerasan. Di Kolumbia, lebih dari 20 ribu aktivis tani, para pemimpin dan pendukung hak-hak asasi manusia dibunuh oleh teroris yang didukung militer AS dan gang-gang paramiliter. Selain itu, lebih dari tiga juta orang kehilangan tempat tinggal akibat penindasan oleh negara. Di Brazil, di bawah Cardoso dan Lula, lebih dari lima ratus petani dan pemimpin-pemimim buruh tak bertanah, dan aktivis gereja dibunuh oleh polisi militer dan pembunuh bayaran yang disewa oleh pemilik tanah. Lebih dari 90 persen pelaku kejahatan itu tidak dihukum.

Masalahnya, apakah negara, politik kekuasaan, dan strategi politik yang pada akhirnya mendorong gerakan tani sebagai pemimpin dalam perubahan? Kekuasaan petani yang termanifestasi dalam wujud penyangkalan (negation) terhadap penguasa yang ada pada akhirrnya melemah, ketika mereka bersepakat pada strategi untuk pengambillihan kekuasaan. Bahkan, dalam kasus dimana gerakan tani sukses menjatuhkan rejim sebagaimana di Ekuador (2000) dan Bolivia (Oktober 2003), mereka tidak menyiapkan diri untuk berkuasa. Lebih dari itu, ketika mereka berhasil mengambilalih kekuasaan ke dalam tangannya dari para demagog neoliberal seperti Carlos Mesa di Bolivia dan Lucio Gutierrez di Ekuador, gerakan tani terbukti tidak siap berkuasa.

Petani memang sanggup melakukan protes yang signifikan dan bahkan mendorong reformasi. Tetapi, mereka sangat lemah dalam hal kekuasaan negara. Akibatnya, reformasi mengalami kemunduran bahkan kegagalan ketika gerakan melemah. Janji-janji reformasi selama perjuangan panas dihancurkan oleh penguasa kanan-tengah. Yang terjadi malah penyusunan (reconstitution) kembali kekuasaan borjuis untuk melakukan serangan balik dengan strategi 'counter-terrorist' yang kejam. Tanpa strategi untuk kekuasaan negara, para pemimpin militan cenderung untuk berhenti dan membiarkan ambisi-ambisi politis borjuis kecil mengambilalih tempat mereka. Setelah itu, periode demagog dan konsesi-konsesi simbolis sukses dalam mennapaki jejak langkah para pendahulunya.

Beberapa teoritisi revolusioner berpendapat, masalah pengambialihan kekuasaan negara mengharuskan pembangunan gerakan massa dari bawah, pembentukan koalisi dengan kelompok-kelompok perkotaan dan organisasi massa dan pembangunan serangkaian perjuangan konkret untuk reformasi yang mengarah pada terciptanya "kekuasaan ganda/dual power." Ini sangat sulit dan prosesnya sangat kompleks, tergantung pada situasi lokal dimana mereka merealisaikan hal-hal yang dianggap konkret. Pemerintah lokal dan pemimpin-pemimpin politik dalam perjuangan massa adalah "pembangun kepercayaan/confidence building) yang tindakannya: Ketika bertanya mengapa petani tidak "mengambilalih kekuasaan" di Bolivia dan Ekuador saat pemberontakan meningkat, para pemimpin tani itu mengatakan kepada saya bahwa mereka "belum siap" dan mereka "tidak percaya diri untuk memimpin." Dimanapun, ketika pemimpin-pemimpin tani dan para aktivis secara tegas hendak mendirikan sebuah rejim oleh dan untuk petani dan menentang imperialisme, hal ini merupakan masalah hidup dan mati, perjuangan dan pertumbuhan atau kehilangan tempat dan hidup melarat.***



Artikel ini merupakan refleksi dari penelitian lapangan, termasuk wawancara dan observasi terlibat dengan mengikuti gerakan antara 1992-2005: CONAIE (Ekuador 2002, 2003); Cocaleros (Bolivia 1993, 1996, 2003); EZLN (Mexico 1995, 1996); MST (Brazil setiap tahun 1992-2005); Federacíon Nacional Campesino (Paraguay 1998, 1999); MOCASE (Argentina 1995); Confederacíon Campesina (Peru 2004); Federacíon Campesino (El Salvador 1999); Federacíon Ezquiel Zamora (Venezuela 2004); Via Campesina (Brasilia 1997).

Artikel ini juga adalah ringkasan dari buku kami : James Petras and Henry Veltmeyer, "Social Movements and the State: Brazil, Ecuador, Bolivia and Argentina" (London: Pluto 2005, October); James Petras and Henry Veltmeyer, "Movimientos Sociales y el Estado: Brazil, Ecuador, Bolivia y Argentina," (Buenos Aires: Lumen, Noviembre 2005).



SUMBER : http://kajian-indoprogress.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar